All is too special to forget

Friday, October 29, 2010

On 6:43 PM by Unknown   2 comments
Di gubuk reot mewah alias mepet sawah, John dan Pitak ngbrol santai sambil leyeh-leyeh menikmati sepoi angin. Udara memang panas tapi terasa sejuk menyegarkan. Seolah bosan dengan berita musibah yang tengah terjadi di Yogyakarta dan Sumatra Barat. Manusia terlalu picik mengartikan itu sebagai musibah. Bahkan bisa dikatakan egois. Hanya melihat suatu kejadian dari satu sudut pandang mereka saja. Padahal kalau dnikmati, si gunung Merapi itu pasti lega dan merasa puas karena sudah bisa meletus. Seperti kita yang lama menahan kentut atau kencing. Kalau sudah keluar, plong to? Begitu juga Tsunami di Mentawai, Sumbar, air itu lagi enjoy-enjoy menikmati dansa bersama gempa. Lha kok dibilang musibah. Harusnya kita, manusia, introspeksi diri terhadap apa pun yang telah kita lakukan. Itu semua sebenarnya kan menyindir perilaku kita, yang suka mengganggu alam sekitar.
“John, kalau kamu disuruh jadi relawan kayak orang-orang itu, kamu pilih mana John, Mentawai atau Merapi?”, Tanya Pitak sekenanya.
“Merapi dong. Keren bisa main-main sama api, kayak yang di Avatar itu”.
“Wah dasar wong edan. Kayak anak kecil aja kau ini. Ingat-ingat keriputmu itu!”
“Aku ini, ndak edan. Kan aku dah sering bilang. Aku ini dibikin edan sama pemerintahan negeri ini. Kan kamu itu yang edan tulen!”
“Ndak, aku juga edan kok. Aku kan kayak kamu,,,ikut-ikutan kamu tepatnya”, Bergaya sok akrab kepada John.
“Kalau kamu mau jadi relawan kemana, Tak?”
“Jalau aku juga ke Merapi”.
“Wah emang sukanya ngikut doing kau ini”.
“eitz, bentar dulu. Sori-sori ya aku ikut-ikutan kamu. Aku ke Merapi kan biar bisa masuk TV, ketemu sama orang-orang gedhe, pejabat Negara, dan tokoh-tokoh politik bangsa. Keren gak tu!!! Gak edan kayak kamu itu!”
“Itu juga sama aja edan. Gila popularitas. Lha buat apa kamu jadi relawan kalau kayak gitu mau mu?”
“Hari gini John, gak narsis itu gak bakalan eksis”.
“Uesteh….gaya mu ki!!”
“Weh iya, coba lihat, kenapa banyak tokoh-tokoh penting Negara ini lebih memilih datang duluan ke Merapi daripada ke Menatawai? Ya karena alasan populis itu. Ya karena mereka ingin meraih hati dan simpati dari warga. Apalagi, mbah mu itu, mbah Maridjan, tewas to? Kesempatan itu buat menaikkan popularitas mereka dengan ikut bersimpati, berduka cita atas menggalnya beliau itu”.
“Hush, jaga omonganmu Tak!!tak jitak pula kau ini”.
“Hayo, sekarang aku Tanya: mbah Maridjan itu meninggal sebagai pahlawan, yang katanya menemukan puluhan orang di dalam wedhus gembel atau mati bunuh diri dengan kepasrahannya?”
“Wah pertanyaanmu sulit. Kayak para politikus mengkritisi pendapat dalam rapat di gedung besar itu. Jan, betul sulit. Lha menurut pendapat mu gimana?”
“Lha yo mbuh…emange aku dukun?!!aku yo nggak tahu aku juga bukan mbah Maridjan. Aku Pitak, orang gila yang dibuat gila oleh pemerintah.”
“Wooo, lha emang edan tenan kok koe ki!!! Pitak…Pitak… tambah edan aku nek punya teman kayak kamu itu…”
“Aku Cuma pengen ngomong itu ke wartawan nek aku jadi relawan. Biar aku terkenal, nal, nal, nal, nal, nal… sori-sori ya kalah ngetop sama presiden. Pitak gitu loh!!”

Ajar Sagobi
BaitApat, Yogya
29102010/0209pm

Sunday, October 24, 2010

On 8:36 PM by Unknown   4 comments
CINLOK (Cinta Lokasi)
Bagi sebagian orang Cinlok sering saja dianggap sebagai sebuah cara mendapatkan pasangan hidup atau bahkan sekadar pacar saja, yang tidak jantan alias gentlemen. Kenapa? Ah, ada-ada saja orang-orang itu ya! Namanya juga jodoh, mau diapain aja juga, tetap aja jodoh. Biarpun cinlok atau bukan, baik gentlemen, atau gak kalo dah klop dan sama-sama suka, tetap jalan juga kan? Selain itu, ukuran untuk hal-hal yang aku sebutkan di atas sangatlah subjektif. Antara orang yang satu dengan yang lain pasti berbeda.
Ada yang berpendapat bahwa makan malam bersama di bawah temaram lilin adalah hal romantis. Dalam suaasana itu pula perasaan akan terbawa pada kondisi yang lebih tenang untuk bisa berkomunikasi antara satu dengan yang lain. Hati yang terbuka dan tenang akan membawa pada pikiran-pikiran yang positif dan menyenangkan. Tahi kucing pun bisa serasa coklat matang kalau sudah demikian adanya. Ah...biasalah...harap maklum. Akan tetapi, bagi sebagian yang lain, hal tersebut di atas adalah hal kuno yang pernah ada di zaman yang serba modern ini. Kalau makan malamnya di dalam gua dan tiada listrik sih gak masalah. Tetapi di restoran yang mahal, kenapa pula harus pakai lilin? Apakah takut ketahuan belum mandi karena banyak lalat yang hinggap menguping? Ah, makanya mandi dululah! Selain itu pula, mana enak makan sambil tercium aroma bakaran lilin. Wah bisa jadi kalau lampu temaram gitu, akan terjadi geremet-geremet tangan lelaki yang membuat risih. BISA JADI!!
Nah tu kan, ukurannya aja beda. Kalau hal yang berbeda macam itu, mana bisa dibandingkan!
Okay-okay...
Kembali ke CINLOK. Cinta Lokasi. Bagiku yang dimaksud Cinta lokasi adalah perasaan cinta yang menyerang laki-laki dan perempuan di suatu tempat tertentu karena intensitas pertemuan yang tinggi. Misalnya dalam sebuah organisasi atau lembaga bahkan perusahaan cinlok tumbuh subur di sana. Eitz, bisa juga kepanitiaan lho! Jangan salah dan jangan anggap remeh kepanitiaan ya! Ya, cinlok adalah buah karya pertemuan. Akan tetapi, jikalau rasa cinta itu dibawa keluar tempat tersebut, maka tak bias dikatakan CINLOK, karena itu sesnuggunya adalah CINTA SEJATI.
Hayo...hayo...dah mulai kenal cinta sejati nih..ah gak bermaksud untuk mengajak pendewasaan dini kok. Bagi kalian siapa aja yang belum 18 +, mendingan merem aja. Gak usah baca tulisan ini. Buat yang udah 18 +, gak usah juga...gak usah malu maksudnya..eh malah merem melik gitu..santai ajalah..gak ekstrim kok,,karena gue tahu yang loe mau...karena gue juga mau apa yang loe mau!haha...
Cinlok menjadi hal mutlak yang harus dimiliki dalam hubungan antara personal di dalam organisasi, lembaga, kepanitiaan, dan apa aja yang membutuhkan komunikasi berdasarkan definisi di atas. Haha, tu kan..apa gue bilang: CINTA ITU FITRAH dan FITRI. Tap belum tentu jga FITRAH dan FITRI CINTA,,,apalagi malah CINTA FITRAH dan FITRI...halah-halah mbulet..ya gitu deh intinya. Dari cinta itulah akan muncul kekompakkan dalm bekerjasama. Sadar gak, tiap kali dalam situasi seperti yang aku sebutkan di atas, pasti ada waktu yang disediakan untuk saling mengenal, betul? BETUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUL!!! Hust,,iya-iya, jangan teriak0teriak gitu,,,kalem aja. Jadi betul ya!? “Orang bilang: Tak kenal maka tak sayang” secara gitu loh, sesi tersebut menggiring personelnya untuk saling sayang dan cinta! Hayo..hayo...ngaku gak loe??dah jangan malu gitu!!iiiihh, kok wajahnya merah?? Oooh, kepedesen toh?
Nah...dah paham sekarang tentang apa itu CINLOK? Cinta Lokasi adalah perasaan cinta yang muncul dari seseorang kepada orang lain dalam konteks tertentu dan hanya dirasakan pada konteks tersebut. Bisa dibayangkan apakah jadinya bila seorang pemimpin tidak mencintai anggotanya dan sebaliknya anggotanya tidak mencintai pemimpinnya? Lembaga, organisasi, dan apapun itu akan koleps (bener gak tulisannya?) kalau Inggrisnya gini: collapse! Ketua memerintah danmengoordinasi tentang suatu hal, anggotanya tidak mau, melakukan hal yang diperintahkan kalau pun mau, ada pemberat di hatinya. Trus kalau pemimpin tidak cinta kepada anggotanya? Lha mau mengimplementasikan konsep-konsep yang disusun kepada siapa?
Cinta memunculkan kepercayaan dan keyakinan. Eitz pun kepatuhan untuk melakukan hal-hal yang diinginkan sang pecinta,,eh yang dicinta gitu maksudnya. Tentu dengan tanpa berat hati dan ogah-ogahan..pasti semangat...(Aku juga sedang ngerasain loh!!!makanya aku nulis tulisan ini..hehehe..MAU? hemm..biar aku aja yang ngerasain..kalian gak usah!!weeeek!!!) ada seseorang di bilik hatiku!!!( eh, malah jadi merah gitu mukanya...aduh-aduh...sudah-sudah...lanjutin aja bcanya ya!!!eh malah ketawa-ketiwi gitu,,,hiiiiiiiiiiiiiih gak malu ma tetangga sebelah!!!)
Bisa jadi cinta sejati lahir dari keberadaan cinlok. Tapi cinlok berbeda dengan cinta sejati. Yang terakhir itu tak terbatas ruang dan waktu, mau hidup-mati, mau kamar-kerja, mau tidur-bangun, kapanpun, dimanapun, walaupun, meskipun, biarpun, siapapun, ngapainpun, mengapapun (Cuma nyebutin akhiran –pun kok!).
Gimana, masih menganggap remeh cinlok sebagai hal yang gak mutu? MASIH?? apa? tak kasih yang ekstrim sekalian ya!!kalian gak akan pernah bisa lahir ke dunia ini, tumbuh, berkembang, pinter, bisa nulis, bisa baca tulisan ini tanpa adanya cinlok dari kedua orang tua kalian di dalam suatu malam yang panjang!!(katanya sih panjang, gak tahu tu apa yang membuat malam jadi panjang... ada yang memanjangkan tu pasti dan ada yang dipanjangin...! hemm...karepmu! aku rung ngerti! rung tau!) wes..intinnya malam jadi P-A-N-J-A-N-G!!! Cukup, ra sah digagas maneh!! Kalau kalian masih saja meremhkan cinlok, itu artinya kalian tidak menghargai kerja keras orang tua kalian, kalau demikian kalian pun tidak menghargai arti keberadaan kalian di sini. APALAGI YANG SEDANG BACA TULIASAN GAK MUTU INI!!! Dah pulang aja sana... jangan mikir macem-macem ya!!!cukup satu macem aja: CINLOK adalah diri kalian sendiri!!!

Ajar sagobi
BaitApat, Yogya

Friday, October 22, 2010

On 7:52 PM by Unknown   No comments
GOR UNY, di depan, di kala temaram lampu termakan pekat malam. Kian terang menerangi jalan di bawahnya dan sebuah kursi panjang tua milik tukang tembel ban. Telah sedari tadi tukang tambal ban menutup kiosnya. Dibiarkannya beberapa peralatan yang tak mampu dia bawa pulang di kiosnya. Termasuk kursi panjang tua itu.
Ku lihat dari seberang, seorang tua berjalan beriringan dengan laju becak menyusuri jalan Colombo. Payah, namapk begitu payah pak becak itu. Di dalam kepayahan itu, masih saja sempat dia berucap, “Wong gemblung! Bali wae!” pada orang yang dianggapnya gila yang berjalan di sebelah laju becaknya. Orang itu menjawab enteng, “Sampeyan sing gemblung. Ngonek-ngoneke wong gemblung.” Tertawa terbahak-bahak.
Diusapnya, dibersihkannya kursi panjang itu dari debu-debu jalanan. Kemudian rebahlah tubuhnya di atas kursi itu. Menuntut haknya untuk terbaring. Aaahh,,nikmat nampaknya. Biarlah, aku tak mau menggangu. Apesnya, justu aku yang dibilang gila. Eitz, tunggu dulu…
Mungkin akan menjadi pertunjukkan seru ini, lihatlah,,entah siapa dia, dating dari timur, berduyung-duyung, nampak begitu banyak dia denganbayang-bayangnya. Berjalan mendekati lelaki yang tengah terbaring nyaman di atas kursi panjang tua itu. Makin jelas ku lihat, rambutnya terikat sebelah, ternyata membawa boneka, bajunya panjang terurai ke bawah, kumal? Tak begitu. Seperti baru tercuci. Lincah kakinya menari di atas aspal tanpa alas kaki.
Ditowelnya kaki lelaki tadi, genit, dan memberikan isyarat yang setahuku, dia hendak meminta izin untuk duduk di kursi itu. Tak marah, lelaki itu terusik olehnya. Wajhany menjadi girang, ceria dalam temaram lampu jalanan. Bergegas dan begitu ikhlas dia berbagi tempat dengan wanita itu.
Ku kira keceriaan itu akan berlanjut. Ternyata tidak. Masing-masing duduk dalam heningnya. Wanita itu asyik dengan bonekanya dan lelaki itu larut dalam khusuknya memandang laron-laron di atasnya.
Ku teguk secangkir kopi ang telah ku pesan sedari tadi di warung burjo depan GOR UNY. Tepat di seberang jalan kios tambal ban itu. Serasa tak lengkap bila hanya kopi saja yangmampir dalam rongga mulutku, ku cari gorengan yang mungkin bisa mengisi kekosongannya. Yah, tak apalah walau hanya sepucuk tempe goreng dingin tapi masih krispi sebagai temannya. Badanku, aku putar untuk menatap mereka kembali sambil bersiap menggigit tempe itu. Tapi urung ku lakukan. Aku terkejut.
Mereka telah sangat akrab berbicara satu sama lain. Sangat akrab seolah telah lama mengenal dan tak terjadi apa-apa sebelumnya. Padhal, aku tahu betul. Mereka sibuk dengan urusan mereka masing-masing tadi. Mungkin 2 menit yang lalu.
Benar-benar tempe yang aku pegang tadi tak jadi aku makan dan hanya ku letakkan di samping kopi ku. Aku takjub. Mereka sangat akrab. Pembicaraannya terlihat begitu alami, mengalir begitu saja. Tangan menari-nari menambah intonasi dan meluapkan ekspresi, kadang berdiri, kadang menunduk-nunduk. Tak jarang pula lelaki itu menunjuk depan pandangnya mulai dari ujung timur hingga ujung barat. Wanita itu hanya mengangguk ketika lelaki itu berbicara. Dan terkadang tepuk tangan gembira.
Lain lagi bila s iwanita yang berbicara, lelaki itu tak berhenti mengacungkan ibu jarinya pertanda dia kagum pada si wanita. Dua ibu jarinya. Dan mengangguk-angguk. Sambil melompat pula terkadang si wanita saat berbicara. Bonekanya menjadi alat peraga terhadap apa yang dia bicarakan sebagai pengganti gerak tangannya. Lompat kesana lompat ke sini. Sayup-sayup hanya ku dengar dari sini, dari warung burjo seberang kios tambal ban. Mereka bicara apa. Aku ingin tahu.
“Woi, woi, opo koe, opo koe!!!”, nadanya naik bertutur pada segerombolan anak muda di sebelah timurku. Rupanya mereka pun memperhatikan.
“Dasar podo-podo wong gemblung. Nek ngomong yo nyambung!!”, balas salah satu dari mereka. Tertawa terbahak-bahak.
“Mendingan gemblung daripada nggemblung! Koyo koe kui!”
Kopiku telah dingin dan tempe gorengku tak lagi menggugah nafsuku. Aku pulang, “Siapa yang gila? Mungkin yang baca”.

Ajar Sagobi
BaitApat, Yogya
211021010/1009pm
On 7:51 PM by Unknown   No comments
Duduk di pojok beranda rumah, ku lihat beberapa anak asyik bermain pasaran. Mereka memerankan diri mereka sendiri ketika telah beranjak dewasa. Sesuai dengan cita-cita dan impian mereka. Berkhayal. Itu bagus, setidaknya mereka telah punya mimpi dan harapan akan masa depan mereka walau pun tak menutup kemungkinan terjadi perkelahian memperebutkan peran karena cita-cita mereka sama. Seperti yang sedang terjadi di hadapanku. Fafa; anak depan rumah, anak dari seorang pemilik warung makan ingin menjadi penjual makanan di pasar; beradu mulut dengan Rindang; anak sebelah rumah, anak pemilik Laundry, yang juga memiliki keinginan yang sama. Mereka berebut pelanggan untuk membeli dagangan mereka yang tak lain hanyalah seorang pegawai supermarket dan seorang bu haji. Usia mereka sepadan. Fafa yang berambut lurus panjang dengan mudah dijambak oleh Rindang yang berrambut keriting bak orang-orang Papua. Teriak-teriak, pekakan telinga. Tak ada yang menangis. Mereka konsekuen dengan apa yang mereka lakukan. Barangkali mereka paham, inilah efek dari berdagang: persaingan.
Fafa berkelit dan mampu melepaskan rambutnya yang sedari tadi dalam genggaman Rindang. Dia berlari menepi ke tembok, membungkuk, dan diambillah sebutir batu. Eitz…sudah-sudah…teriak aku sambil menghampirinya melepaskan batu itu dan membuangnya. (Jadi sedari tadi kau hanya melihatnya? Setan kau!!) biarlah, kenangan masa lalu.
Teringat aku, beberapa tahun yang lalu tatkala aku masih SANGAT muda. Permainan itu sama aku perankan di desaku. Persis. Aku tak tahu namanya, yang jelas kini aku menyebutnya: Bermain mimpi. Aku ingin sekali menjadi seorang tukang pos. tukang pos keliling yag mengantarkan surat dari rumah ke rumah dengan sepeda onta. Jumawa sekali rasanya. Dalam permainan itu, tak perlu aku berebut peran karena tak ada yang berminat menjadi tukang pos selain aku. Dan herannya, peran ku yang aku dapatkan tanpa ada persaingan, sama sekali tak laku. Tak ada yang berkirim surat lantaran mereka tak suka membaca dan menulis katanya. Lebih suka melihat film yang temanku perankan. Aku pun ngambek, pulang, dan mengadu.
Kekalahanku makin lengkap kala mendengar gelak tawa puas dan lepas ayah-ibuku. Kenapa mereka justru menertawakan aku? Aku jadi senyum-senyum sendiri di hadapan anak-anak itu. Mengetahui kekonyolanku saat itu yang hanya bisa mengaduh manja pada orang tuaku. Harusnya aku cari tahu dulu kenapa mereka lebih suka film dari pada surat-menyurat.
Tangis Rindang pecah. Mengalir darah segar di lutut kanannya. Aku tak tahu betul bagaimana kejadian itu karena aku telah masuk ke dalam rumah untuk menengok komputerku yang bernyanyi tiada terpeduli. Dari dalam, sebelum tangis itu bergema, aku mendengar mereka saling bercerita satu sama lain. Seolah-olah mereka sedang berada di sebuah pasar besar tempat bertemunya ratusan orang untuk berbagai keperluan. Berbicara mereka tentang banyak hal; dunia film, artis-artis, gossip, tren fashion, dan sedikit tentang pendidikan. Miris, sedikit tentang pendidikan, bahkan yang dibicarakan adalah buruknya pendidikan.
Yang lebih membuatku mrino alias nelongso begini: dalamkeramaian itu, jelas aku bis memastikan suara Fafa, “Ayo Rindang lari ke sana lagi cepet kamu bisa ambil itu kan? Cepet lari…lari…”. Sambil memberi tekanan bahwa larinya adalah sebuah harapan untuk bisa memberikan layanan yang terbaik. Kemudian terdengar “gubrak” dan tangis pun pecah. Dengan lugu dan polosnya, Fafa kembali berucap, “Tu kan, udah dibilang jangan lari-larian ko malah masih lari-lari aja. Jadi jatuh. Yuk pulang yuk,,diobatin dulu lukanya!”
Apa bedanya dengan manusia-manusia dewasa yang duduk di kursi pemerintahan?
Untunglah, cita-citanya hanya seorang tukang penjual makanan bukan seorang pejabat tinggi negara. Apa jadinya kalau dia bermimpi menjadi pejabat; perkelahian di dalam pasar, perebutan meraih simpati konsumen, obrolan tiada isi, dan perilaku yan g tak seharusnya telah mereka tabung dan mereka rencanakan untuk kemudian mereka aplikasikan dalam: perkelahian di dalam sidang, perebutan meraih simpati masyarakat, sikut sana-sikut sini, dan korupsi di kemudian hari, di hari depan mereka.
Barangkali, dulu para pejabat pun berperilaku demikian adanya? BARANGKALI.

Ajar Sagobi
BaitApat, Yogya
11.10.2010
On 7:51 PM by Unknown   No comments
Di bawah terik mentari dengan menggendong sebilah gitar di pundaknya, pengamen tua-muda, pria-wanita keluar-masuk bus-bus kota mengais rezeki dari para penumpang yang tak dikenal. Mereka relakan wajah mereka satu-satunya untuk menentang panas terik matahari yang sekiranya bisa mereka tutupi dengan topi-topi. Tetapi tidak. Merusak penampilan dan membuat kulit kepala menjadi berketombe. Itu lebih buruk dari sekadar kulit muka yang hitam legam oleh teriknya. Wajah itu menatap pelan seorang wanita yang sedari tadi memperhatikan gerak-geriknya. Ingin mengetahui apa yang dirasakannya. Bahagiakah dia dengan apa yang dia lakukan?
Melintas sebuah mobil BMW mewah merah dengan plat mobil Jakarta hendak melintas menyalip bus yang menepi dibawah jembatan layang Janti, di depan sebelah kanan posko bus Trans Jogja. Urung terjadi. Karena kondisi yang tak memungkinkan untuk terus lewat maka mobil itu mengantri jalan untuk melintas di belakang bus itu. Ah baru kali ini terpikir oleh ku untuk mengatakan “mengantri jalan”. Nampaknya pemerintah telah berhasil membuat rakyatnya mempunyai budaya mengantri; mulai dari mengantri WC umum, mengantri sembako bulanan, mengantri BLT, bahkan mengantri untuk lulus sertifikasi. Ya, mengantri. Maaf kalau bahasanya kurang enak didengar. Kalau pembaca yang budiman merasa kurang enak, berarti saya berhasil. Tetapi kalau sebaliknya, biarkan saja tulisan ini ada dan jangan diutak-atik.
Kaca pintu mobil yang terbuka setengah memberikan peluang untuk kedua mataku menatap isi mobil tersebut. Mereka menangkap sesosok pria berkacamata hitam, rambut cepak –agak keriting nampaknya-, kulit sawo agak busuk –meyakinkanku bahwa lelaki itu berasal dari daerah yang tropis- namun terawat, berkemeja biru langit yang menarik perhatian mataku. Bibirnya sedikit maju untuk bersiul, menyanyikan lagu dan jari-jari tangannya naik-turun memainkan drum yang nge-beat di atas stir mobil. Hemm..adakah lelaki ini merasa nyaman dengan kondisinya saat ini? Bahagiakah dia tanpa tatapan panas terik mentari?
Biarkan mataku jail menatap apapun yang ingin aku tatap. Termasuk yang satu ini: seorang wanita yang duduk bersimpuh di dalam sebuah grobak, di pundaknya sedang bergelantung merangkul anak lelakinya yang kira-kira berumur 3 tahun, di kakinya seorang anak perempuannya berumur 4 tahun duduk bersimpuh meminta perlindungan dari sakit punggungnya. Wanita itu mengelus, dan dalam gendongannya seorang bayi kurang dari 2 tahun masih saja enak mengenyot ASI dari sumbernya. Aku melihat sumbernya yang nampak tak lagi gemuk –banyak isinya-. Tangan kanannya masih sibuk mengelus punggung anak wanitanya sementara kirinya menggerai rambut panjangnya: panas. Kaleng susu di depan grobaknya terkadang berbunyi tersentuh uang logam. Dia dapatkan itu tanpa usaha untuk mendapatkannya. Adakah dia merasa bahagia dengan kondisinya saat itu?
Pikiranku tiba-tiba saja melayang ke beberapa saat sebelum aku berada di tepian jalan bawah jembatan layang Janti, menunggui temanku yang sedari tadi tiada tampak batang hidungnya. Berkata hendak datang 3 jam sebelum saat ini. Berarti aku telah sedang mengunggunya selama tiga jam. Wah-wah baru kali ini aku sesetia ini. Biasanya langsung saja aku tampar sang waktu bila tak kunjung tiba juga. Aku beri kau toleransi kawan karena aku telah bisa membunuh waktuku saat ini dengan pikiran-pikiranku yang berlintasan di otak. Hemm, ku jadi berpikir: adakah aku merasa nyaman dan bahagia dengan pikiran-pikiranku? (akhirnya kena juga kau!!!)
Ataukah (pikiranku langsung saja menyerobot karena telah lama mengantri katanya, tak mau dicurangi. Ah...pemerintah hebat sekali kau ini) seorang bocah yang baru saja mendapatkan penghargaan karena kesempurnaannya memainkan peran sebagai seorang yang pemarah dalam sebuah lomba teater SD se-Yogyakarta baru-baru ini. Bocah itu dipanggil ke depan untuk menerima penghargaan bak peraih award actor ngetop di TV-TV swasta itu. Berjalan membelah ratusan penonton yang khusuk duduk di dalam kantuk dan bosannya mengikuti acara karena tak kunjung usai meski pertunjukkan telah usai sedari tadi. Ya, karena ketua panitia terlalu lama memberika ceramah. Gak mutu. Gak nyambung dengan Grand Tema: membudayakan teater sejak dini. Malah bicara soal Malaysia yang gak karuan itu.
Sesampaianya di atas panggung dengan didampingi oleh kedua orang tuanya, bocah lugu itu menjawab sebuah pertanyaan singkat dari ketua panitia: “Wah-wah selamat, Nak! Bagaimana caranya kamu belajar menghayati peranmu dalam teater tadi? Sangat menawan!” Bocah lugu itu spontan menjawab sambil mengangkat piala itu tinggi-tinggi tanda kebanggaan pribadi dan sejenak melihat raut wajah berseri dan penuh senyum penghormatan sang bapak yang berada di kanannya. Kemudian diraihnya pengeras suara dan menjawab: “Saya sangat senang sekali dengan hadiah ini. Saya tidak pernah berlatih. Saya hanya sering mengamati bagaimana wajah bapak ketika bapak berteriak-teriak, memaki, dan memarahi ibu di rumah. Terimakasih bapak!” Suasana menjadi hening. Senyum sang bapak menjadi kecut dan raut wajah si Ibu mengkerut mirip onta. Adakah bahagia dan nyaman di sana?
Jadi adakah kenyamanan dan bahagia itu kawan? Dimana, kapan, dan bagaimana mereka nampak?

Ajar Sagobi
BaitApat, Yogya
On 7:50 PM by Unknown   No comments
Syukuri apa yang ada...apa pun itu yang kau punya yang DIa berikan untukmu...
Susunlah tulang-tulang kehidupanmu sebaik mungkin dan jalani tiap ruas-ruas jalan hidupmu dengan tetap berpegang teguh pada jalanmu...
Dan isi rongga-rongga hidupmu yang tertuang dalam otakmu dengan hal-hal besar yang berguna bagi masa depanmu yang cerah
Jangan biarkan dia terisi oleh hal yang remeh yang hanya menyesakkan alur pikirmu terhadap hidupmu
Teruslah berjalan dengan instrospeksi diri tiap saat
Tak usah sedih tak usah mengeluh
Karena Allah selalu mendampingi...

(hikmah dari film “17 Again”)

Ajar Sagobi
BaitApat, Yogya

Tuesday, October 19, 2010

On 5:50 AM by Unknown   No comments
Cakap dikala hujan turun:

“Hujan ini milik adek”
“bukan, hujan ini milik mas”
“Gak boleh, pokoknya milik adek. Kan adek yang lagi merasa”
“ya dah, milik kita”
“tetep gak boleh, ini milik adek, adek, adek. Titik”
“ ya… hujan ini milik adek.
Adek tersenyum
“hujan ini milik adek. Tetapi adek, mas yang punya. Adek milik mas.”
Mas memeluk dari belakang tubuh adek yang khusuk memandang hujan turun lewat jendela di lantai atas.
Lama. . .
:hujan ini milik kita, mas, karena kau dan aku yang sedang merasa.
……………………………………………………………………………………………

Ajar Sagobi
BaitApat, Yogyakarta
18Oct2010, 05.06 p.m.

Wednesday, October 13, 2010

On 3:54 PM by Unknown   No comments
The 19th century is the important turning-point of development of linguistics. There are two orientations based on the time perspectives dealing with this era, they are synchronic linguistics and diachronic linguistics.
The first one is synchronic linguistics. It deals with a particular state of a language at some given point in time. It also ignores the route by which a language arrives at its present form. Modern English is the simplest example of this orientation in which it does not learn about the history system of English.
The second one is diachronic linguistics in which its analysis is based on the history of the language to learn. Scientists go back and forth in time, watching the language with all its features change. It can be seen in the changes of old English to Modern English.
However, it is not easy to understand the language without knowing the idea existing when it was formed. Therefore, diachronic linguistics is learnt more detail than the other one as shown in the orientation of it such as; the investigation of the history, the uncovering of their relationship, and the reconstruction of the lost proto-languages from the families.
Linguistics was a German pursuit during 19th century. Enormous effort was devoted to the historical study of Indo-European language family. It was in the line with the movement of other field of study; art and intellectual of late 18th and 19th; known as romanticism. There are some characteristics of this orientation, that are, rejecting the classical tradition of translating old documents; such as Bible, fairy tales, and other stories; emphasizing on indigenous ethnic and cultural roots; and intimately related of race, language, and culture in analyzing.
In understanding of diachronic linguistics at 19th century, there are two outstandingly influential scientific paradigms; mechanistic physics and biological theory of evolution.
For mechanistic physics, all phenomena can be described by simple, deterministic laws of force and motion. Philologists take the notion of describing the history of sound-changes occurring in a language in terms of ‘law’ as Grimm’s Law.
For biological influence, Bopp, proposed that language must be regarded as organic bodies, formed in accordance with definite laws; bearing within themselves an internal principle of life, they develop and they gradually die out. Thus, the language is a living thing in which the Old English of pre-Conquest days developed successively in to Chaucer’s English, Shakespeare’s and now the different varieties of modern English. Therefore, the group of languages have ‘family tree’ just as groups of biological species do
The family tree is known as the Stammbaum theory which proposed by August, 1861. Language, like species, competes with one another in a struggle for survival. Consider, how English spread at the expense of the Celtic language: Cornish and Manx are extinct, etc.
There are three classifications of language. They are Isolating language, in which each word consisted of a single unchanging root (Chinese and Vietnamese), Agglutinating language, in which words included affixes as well as root but the division of the word into affixes is clear (Turkish), and Inflecting language, in which a single word includes a number of unit of meaning but one cannot assign these meaning-unit to distinct proportion of the word (Sanskrit).

Ajar Sagobi
BaitApat, Yogya

Monday, October 11, 2010

On 1:20 PM by Unknown   2 comments
Terkadang aku heran akan apa yang aku pikirkan tentang kehidupan ini. Aku heran kenapa manusia sudi untuk terus hidup di dunia ini. Semakin lama semakin banyak saja masalah yang muncul. Lihatlah betapa bayi-bayi berwajah ceria menatap kehidupan di depannya. Tiada beban dan derita menyertainya. Tetapi coba lihatlah para orang tua dan tetua-tetua peradaban, mereka Nampak begitu lusuh dan penuh dengan kepasrahan terhadap segala yang mungkin terjadi menimpa dirinya. Ya, jelaslah mereka tak bisa lagi berbuat apa-apa seperti yang dulu mereka bisa perbuat.
Kenapa tetua itu tak berpikir untuk mengakhiri hidup mereka sebelum tua menemui mereka? Aku trenyuh melihat tetua manusia masih saja betebaran di dunia ini. Masih saja pula mereka betah hidup di dunia ini, dunia yang member tumpukan masalah. Mereka [pun masih sudi untuk menatap matahari langsung di siang hari dan bulan dan bintang di malam hari seolah tak ada waktu untuk lepas dari tekanan hidup dan masalah.berjalan terbungkuk-bungkuk dengan susahnya meregang lelah demi sebuah kehidupan. Aku tak begitu yakin kalau tetua itu tiada berkeluarga. Kemana anak-anak dan istri mereka? Tiadakah mereka peduli dengan orang yang telah membuatnya harus bergumul dengan masalah? Ataukah mereka benci karena telah dilahirkan ke dunia ini? Hendak mereka ingin terus berda di surge yang indah dan serba kecukupan.
Muncul sebuah pemikiran dari dalam hatiku. Pemikiran dari balik peristiwa di dunia ini yang menimpa selurujh umat manusia di muka bumi ini, entah itu kafir, muslim, yahudi, atau apalah sebuatnya, yakni masalah. Mereka asyik dan menikmati keberadaan masalah desekitarnya. Membiarkan diri merea larut dalam masalah-masalah yang berbukit-bukit. Ada apa ini?
Aku yakin pula bahwa setiap yang hidup di dunia ini tentu membutuhkan balas jasa akan apa yang telah dilakukan. Entah itu berupa materi ataukah hanya sebatas ucapan belaka. Itu pasti dan suatu kepastian yang tak bisa ditolak. Begitu pun pujian yang selalu hadir menemani setiap detak langkah keindahan.
Mereka bisa betah dan tahan hidup di dunia ini pun tentu ada yang dikejar untuk dicapai. Itu pasti. Tidak lah mungkin semua mengalir begitu saja dan tiaada guna. Tetapi bentuk jasa yang akan didapat itulah yang menjadi misteri. Apa gerangan itu? Hadiah di balik segenap masalah yang hadir dalam hidup ini.
Aku menjadi berhasrat untukmenggali segenap rahasia di balik kehidupan ini. Pernah aku mendengar tentang kehidupan setelah kematian.tetapi aku saja belum mengerti tentang kematian dan kehidupan dengan jelas. Aku hanya mengerti bahwa aku hidup karena aku bernafas dan nafas itu menghasilkan beribu bahkan berjuta-juta masalah. Apakah mati itu berarti tiada masalah mengelilongi? Setahuku kematian berarti meniadakan nafas.
Kehidupan akhirat itulah yang sring didengung-dengungkanoleh kebnaykan orang yang katanaya paham dan mengerti tentang kehidupan. Karena hal itulah, mereka begitu yakin akan kehidupan dunia ini tiada abadi. Dengan teguh mereka perjuangkan keyakinan mereka bahw hidup selanjutnya adalah kehidupan abadi dengan segala balasan terhadap perilaku manusia di dunia. Teguh, dan sangat teguh memang.
Aku yakin ada segenap misteri di balik kehidupan ini. Hanya saja aku tak bisa menerka apa itu. Keyakinanku ini didukung oleh manusia-manusia yang masih saja hidup dengan segenap lara dan duka yang mereka hadapi dengan bahagia. Sungguh aku tak mengerti itu. Meeka masih saja bisa tersenyum bahkan mengalahkan ku untuk terus tersenyum menatap dunia. Aku harus beajar untuk memahami mereka dan menggali keyakinan mereka akan kehidupan.

Ajar sagobi
BaitApat, Yogya, 2010
On 1:19 PM by Unknown   No comments
Huh...sangat membosankan.
Hanya putaran-putaran peristiwa yang sama dari waktu ke waktu. Dari satu ke dua, dari dua ke tiga, dari tiga ke empat dan seterusnya. Sama. Semua sama saja. Kumpulan-kumpulan peristiwa yang membosankan menggunung menjadi gunungan kebosanan.
Wajahmu masih saja tampak sama seperti kemarain. Matamu masih sayu seperti bekas hantaman benda tumpul melingkar mengelilingi bola matamu. Hitam. Legam jidatmu tak mampu mengatakan padaku bahwa kau sering bersujud ke hadirat-Nya. Dan keduanmya semkain tak membuatku yakin bahwa kau kurang tidur hanya untuk menyembah Tuhamu di pagi, siang, dan petang, bahkan malam hari.
Tatalah rambutmu seperti kau menata barisan pejuangmu di lahan dakwah kampus. Kau kokoh berdiri di depan khalayak umum berbicara lantang hinga sudut barisan masih bisa mendengar jelas suaramu meski ditinnggal ngantuk-ngantuk.
Tetapi kau terlihat sebaliknya ketika dinding bata mengurungmu dalam pembaringan. Dan kasur yang tak lagi empuk, berdebu dan kumal merayumu dan kau pun tergoda untuk menidurinya.
Ah, kau ini...hanya bisa menikmati hal-hal yang enak saja akhir-akhir ini. Pantas saja kau mengatakan hidup ini membosankan. Membosankan macam apa? Apa karena jarang kau mendapatkan kenikmatan akhir-akhir ini?? Dan kau keluyuran ke sana-le mari tanpa tujuan yang jelas, membuatmu pusing kepala, jenuh, dan tiada teman yang bisa diajak bertukar pikiran, apalagi ditambah tugas yang banyak menumpuk tak lagi belum tersentuh tinta untu bisa selesai.
Kasihan benar kau ini. Cermin di dindingmu pun tak lagi kau rawat, berkarat seperti besi kehabisan make up.
Cobalah kau tenangkan dirimu dulu untuk sejenak merenungkan segenap kejadian lalu yang telah terlewati. Tenanglah...tenaanglah...dan tenanglah...Eitssssss....jangan kau tertidur!!!

Ajar Sagobi
BaitApat, Yogyakarta, 2010
On 1:17 PM by Unknown   2 comments
Mimpi. Aku berpikir bahwa mimpi hanya bisa diraih saat kita tertidur. Tak bisa jikalau selain itu. Aku pun tenang. Tak ada yang salah dan tak ada yang harus dipersalahkan mengenai mimpi. Semua orang yang tidur berhak memilikinya. Bahkan bias jadi hewan dan tumbuhan pun berhak. Bisa jadi...ya bisa jadi.
Ada pula yang mengatakan bahwa mimpi perlu dibicarakan lebih lanjut. Pasalnya, mimpi ada dua macam: sebagai petunjuk dan sekadar bunga tidur di taman kapuk. Keduanya mempunyai perlakuan berbeda selama ini. Mimpi sebagai petunjuk selalu saja diapndang sebagai sebuah wangsit untuk melangkah ke depan dengan berpijak pada semua hal yang telah terjadi sebagai pelajaran. Sedangkan yang kedua, sering dapandang sebelah mata, siremehkan, bahkan tak diambil pusing. Tapi bagaimana caranya untuk bias membedakan keduanya itu?
Bagiku, mimpi punya tempat special dalam ruang hidupku. Aku tak pernah bedakan kedua mimpi itu (selain memang aku tak bias membedakan). Semua sama: perlu dikaji dan dipahami sebagai sebuah jembatan. Semua punya nilai dan makna masing-masing. Lebih jauh dari itu, aku mulai gelisah dengan kalimat: Bermimpilah Untuk Masa Depan! Kalimat itu menempatkan aku menjadi seorang pemimpi aktif yang harus selalu bias bermimpi untuk kehidupan. Padahal aku saja tak sadar apa saja yang aku lakukan saat aku tidur. Bagaimana bis aku control otak ku untuk bermimpi tentang masa depan?
Berangkat dari mimpi, aku mencoba untuk memahamai sebisaku dalam makna pragmatis. Mimpi tak hanya bias diproduksi saat tidur semata. Tetapi juga dalam kondisi sadar, sehat wal ‘afiat, dan tanpa tekanan dari pihak manapun. Tidur adalah kondisi tenang seseorang terlepas dari semua beban dan rasa apa pun keculai merasakan bahwa orang itu sedang bermimpi. Konsep inilah yang bias dibawa kea lam sadar untuk bias bermimpi.
Hati yang tenag, lepas dari beban dan tekanan, dan keinginan untuk berani menatap masa depan yang tabu adalah kunci untuk menghasilakn mimpi. Pengenalan terhadap diri sendiri terkait dengan kelebihan dan kekurangan diri menjadi katalis pembangunan mimpi untuk msa depan. Ku pahami saat ini, mimpi adalah jembatan emas untuk meraih masa depan yang gemilang. Mimpi adalah keinginan, rancangan, jalan hidup, dan doa. Mimpi telah bertransformasi menjadi bentuk yang sangat dekat dengan sang pemimpi bahkan tak bias dipisahkan oleh apa pun kecuali kehendak Tuhan. Akan tetapi mimpi bukanlah candu yang membuat orang tak bias melakukan apa pun sesuai keinginan idealnya dalam sadarnya membayangkan seolah-olah dia bias melakukan itu. Tidak, bukan itu. Mimpi juga tidak mendidik orang untuk menjadi pemimpi yang tak tahu diri. Hanya bias bermimpi tanpa tindakan nyata. Bukan itu!
Gengamlah mimpimu itu. Simpanlah dalam rongga hati. Bangun dan bergeraklah untuk meraihnya. Karena mimpi adalah darahmu, nafasmu, dan tubuhmu. Mimpi adalah hidup.
Ajar Sagobi
BaitApat, Kebumen

Thursday, October 07, 2010

On 11:10 AM by Unknown   1 comment

Aku iri pada air
Dia tak perlu banyak bicara tapi orang menghargainya…
Aku cemburu pada angin
Dia tak perlu banyak cakap orang mengerti kehadirannya
Aku iri pada api
Dia tak perlu banyak cas-cis-cus orang bisa mewaspadainya
Aku cemburu pada kalian
Kalian tak perlu bernego untuk membuat orang melihat keberadaan kalian
Sedangkan aku
Jika aku diam, orang tak mengerti bahwa aku ada
Bahwa aku punya peran
Jika aku diam, aku bukan siapa-siapa di depan mereka
Aku tak ada harganya di depan mereka
Aku bukan siapa-siapa
Apakah harus aku omongkan tiap apa yang aku lakukan?
Aku harus bagaimana atau
Kalian yang harus bagaimana?