Friday, October 22, 2010
On 7:51 PM by Unknown No comments
Di bawah terik mentari dengan menggendong sebilah gitar di pundaknya, pengamen tua-muda, pria-wanita keluar-masuk bus-bus kota mengais rezeki dari para penumpang yang tak dikenal. Mereka relakan wajah mereka satu-satunya untuk menentang panas terik matahari yang sekiranya bisa mereka tutupi dengan topi-topi. Tetapi tidak. Merusak penampilan dan membuat kulit kepala menjadi berketombe. Itu lebih buruk dari sekadar kulit muka yang hitam legam oleh teriknya. Wajah itu menatap pelan seorang wanita yang sedari tadi memperhatikan gerak-geriknya. Ingin mengetahui apa yang dirasakannya. Bahagiakah dia dengan apa yang dia lakukan?
Melintas sebuah mobil BMW mewah merah dengan plat mobil Jakarta hendak melintas menyalip bus yang menepi dibawah jembatan layang Janti, di depan sebelah kanan posko bus Trans Jogja. Urung terjadi. Karena kondisi yang tak memungkinkan untuk terus lewat maka mobil itu mengantri jalan untuk melintas di belakang bus itu. Ah baru kali ini terpikir oleh ku untuk mengatakan “mengantri jalan”. Nampaknya pemerintah telah berhasil membuat rakyatnya mempunyai budaya mengantri; mulai dari mengantri WC umum, mengantri sembako bulanan, mengantri BLT, bahkan mengantri untuk lulus sertifikasi. Ya, mengantri. Maaf kalau bahasanya kurang enak didengar. Kalau pembaca yang budiman merasa kurang enak, berarti saya berhasil. Tetapi kalau sebaliknya, biarkan saja tulisan ini ada dan jangan diutak-atik.
Kaca pintu mobil yang terbuka setengah memberikan peluang untuk kedua mataku menatap isi mobil tersebut. Mereka menangkap sesosok pria berkacamata hitam, rambut cepak –agak keriting nampaknya-, kulit sawo agak busuk –meyakinkanku bahwa lelaki itu berasal dari daerah yang tropis- namun terawat, berkemeja biru langit yang menarik perhatian mataku. Bibirnya sedikit maju untuk bersiul, menyanyikan lagu dan jari-jari tangannya naik-turun memainkan drum yang nge-beat di atas stir mobil. Hemm..adakah lelaki ini merasa nyaman dengan kondisinya saat ini? Bahagiakah dia tanpa tatapan panas terik mentari?
Biarkan mataku jail menatap apapun yang ingin aku tatap. Termasuk yang satu ini: seorang wanita yang duduk bersimpuh di dalam sebuah grobak, di pundaknya sedang bergelantung merangkul anak lelakinya yang kira-kira berumur 3 tahun, di kakinya seorang anak perempuannya berumur 4 tahun duduk bersimpuh meminta perlindungan dari sakit punggungnya. Wanita itu mengelus, dan dalam gendongannya seorang bayi kurang dari 2 tahun masih saja enak mengenyot ASI dari sumbernya. Aku melihat sumbernya yang nampak tak lagi gemuk –banyak isinya-. Tangan kanannya masih sibuk mengelus punggung anak wanitanya sementara kirinya menggerai rambut panjangnya: panas. Kaleng susu di depan grobaknya terkadang berbunyi tersentuh uang logam. Dia dapatkan itu tanpa usaha untuk mendapatkannya. Adakah dia merasa bahagia dengan kondisinya saat itu?
Pikiranku tiba-tiba saja melayang ke beberapa saat sebelum aku berada di tepian jalan bawah jembatan layang Janti, menunggui temanku yang sedari tadi tiada tampak batang hidungnya. Berkata hendak datang 3 jam sebelum saat ini. Berarti aku telah sedang mengunggunya selama tiga jam. Wah-wah baru kali ini aku sesetia ini. Biasanya langsung saja aku tampar sang waktu bila tak kunjung tiba juga. Aku beri kau toleransi kawan karena aku telah bisa membunuh waktuku saat ini dengan pikiran-pikiranku yang berlintasan di otak. Hemm, ku jadi berpikir: adakah aku merasa nyaman dan bahagia dengan pikiran-pikiranku? (akhirnya kena juga kau!!!)
Ataukah (pikiranku langsung saja menyerobot karena telah lama mengantri katanya, tak mau dicurangi. Ah...pemerintah hebat sekali kau ini) seorang bocah yang baru saja mendapatkan penghargaan karena kesempurnaannya memainkan peran sebagai seorang yang pemarah dalam sebuah lomba teater SD se-Yogyakarta baru-baru ini. Bocah itu dipanggil ke depan untuk menerima penghargaan bak peraih award actor ngetop di TV-TV swasta itu. Berjalan membelah ratusan penonton yang khusuk duduk di dalam kantuk dan bosannya mengikuti acara karena tak kunjung usai meski pertunjukkan telah usai sedari tadi. Ya, karena ketua panitia terlalu lama memberika ceramah. Gak mutu. Gak nyambung dengan Grand Tema: membudayakan teater sejak dini. Malah bicara soal Malaysia yang gak karuan itu.
Sesampaianya di atas panggung dengan didampingi oleh kedua orang tuanya, bocah lugu itu menjawab sebuah pertanyaan singkat dari ketua panitia: “Wah-wah selamat, Nak! Bagaimana caranya kamu belajar menghayati peranmu dalam teater tadi? Sangat menawan!” Bocah lugu itu spontan menjawab sambil mengangkat piala itu tinggi-tinggi tanda kebanggaan pribadi dan sejenak melihat raut wajah berseri dan penuh senyum penghormatan sang bapak yang berada di kanannya. Kemudian diraihnya pengeras suara dan menjawab: “Saya sangat senang sekali dengan hadiah ini. Saya tidak pernah berlatih. Saya hanya sering mengamati bagaimana wajah bapak ketika bapak berteriak-teriak, memaki, dan memarahi ibu di rumah. Terimakasih bapak!” Suasana menjadi hening. Senyum sang bapak menjadi kecut dan raut wajah si Ibu mengkerut mirip onta. Adakah bahagia dan nyaman di sana?
Jadi adakah kenyamanan dan bahagia itu kawan? Dimana, kapan, dan bagaimana mereka nampak?
Ajar Sagobi
BaitApat, Yogya
Melintas sebuah mobil BMW mewah merah dengan plat mobil Jakarta hendak melintas menyalip bus yang menepi dibawah jembatan layang Janti, di depan sebelah kanan posko bus Trans Jogja. Urung terjadi. Karena kondisi yang tak memungkinkan untuk terus lewat maka mobil itu mengantri jalan untuk melintas di belakang bus itu. Ah baru kali ini terpikir oleh ku untuk mengatakan “mengantri jalan”. Nampaknya pemerintah telah berhasil membuat rakyatnya mempunyai budaya mengantri; mulai dari mengantri WC umum, mengantri sembako bulanan, mengantri BLT, bahkan mengantri untuk lulus sertifikasi. Ya, mengantri. Maaf kalau bahasanya kurang enak didengar. Kalau pembaca yang budiman merasa kurang enak, berarti saya berhasil. Tetapi kalau sebaliknya, biarkan saja tulisan ini ada dan jangan diutak-atik.
Kaca pintu mobil yang terbuka setengah memberikan peluang untuk kedua mataku menatap isi mobil tersebut. Mereka menangkap sesosok pria berkacamata hitam, rambut cepak –agak keriting nampaknya-, kulit sawo agak busuk –meyakinkanku bahwa lelaki itu berasal dari daerah yang tropis- namun terawat, berkemeja biru langit yang menarik perhatian mataku. Bibirnya sedikit maju untuk bersiul, menyanyikan lagu dan jari-jari tangannya naik-turun memainkan drum yang nge-beat di atas stir mobil. Hemm..adakah lelaki ini merasa nyaman dengan kondisinya saat ini? Bahagiakah dia tanpa tatapan panas terik mentari?
Biarkan mataku jail menatap apapun yang ingin aku tatap. Termasuk yang satu ini: seorang wanita yang duduk bersimpuh di dalam sebuah grobak, di pundaknya sedang bergelantung merangkul anak lelakinya yang kira-kira berumur 3 tahun, di kakinya seorang anak perempuannya berumur 4 tahun duduk bersimpuh meminta perlindungan dari sakit punggungnya. Wanita itu mengelus, dan dalam gendongannya seorang bayi kurang dari 2 tahun masih saja enak mengenyot ASI dari sumbernya. Aku melihat sumbernya yang nampak tak lagi gemuk –banyak isinya-. Tangan kanannya masih sibuk mengelus punggung anak wanitanya sementara kirinya menggerai rambut panjangnya: panas. Kaleng susu di depan grobaknya terkadang berbunyi tersentuh uang logam. Dia dapatkan itu tanpa usaha untuk mendapatkannya. Adakah dia merasa bahagia dengan kondisinya saat itu?
Pikiranku tiba-tiba saja melayang ke beberapa saat sebelum aku berada di tepian jalan bawah jembatan layang Janti, menunggui temanku yang sedari tadi tiada tampak batang hidungnya. Berkata hendak datang 3 jam sebelum saat ini. Berarti aku telah sedang mengunggunya selama tiga jam. Wah-wah baru kali ini aku sesetia ini. Biasanya langsung saja aku tampar sang waktu bila tak kunjung tiba juga. Aku beri kau toleransi kawan karena aku telah bisa membunuh waktuku saat ini dengan pikiran-pikiranku yang berlintasan di otak. Hemm, ku jadi berpikir: adakah aku merasa nyaman dan bahagia dengan pikiran-pikiranku? (akhirnya kena juga kau!!!)
Ataukah (pikiranku langsung saja menyerobot karena telah lama mengantri katanya, tak mau dicurangi. Ah...pemerintah hebat sekali kau ini) seorang bocah yang baru saja mendapatkan penghargaan karena kesempurnaannya memainkan peran sebagai seorang yang pemarah dalam sebuah lomba teater SD se-Yogyakarta baru-baru ini. Bocah itu dipanggil ke depan untuk menerima penghargaan bak peraih award actor ngetop di TV-TV swasta itu. Berjalan membelah ratusan penonton yang khusuk duduk di dalam kantuk dan bosannya mengikuti acara karena tak kunjung usai meski pertunjukkan telah usai sedari tadi. Ya, karena ketua panitia terlalu lama memberika ceramah. Gak mutu. Gak nyambung dengan Grand Tema: membudayakan teater sejak dini. Malah bicara soal Malaysia yang gak karuan itu.
Sesampaianya di atas panggung dengan didampingi oleh kedua orang tuanya, bocah lugu itu menjawab sebuah pertanyaan singkat dari ketua panitia: “Wah-wah selamat, Nak! Bagaimana caranya kamu belajar menghayati peranmu dalam teater tadi? Sangat menawan!” Bocah lugu itu spontan menjawab sambil mengangkat piala itu tinggi-tinggi tanda kebanggaan pribadi dan sejenak melihat raut wajah berseri dan penuh senyum penghormatan sang bapak yang berada di kanannya. Kemudian diraihnya pengeras suara dan menjawab: “Saya sangat senang sekali dengan hadiah ini. Saya tidak pernah berlatih. Saya hanya sering mengamati bagaimana wajah bapak ketika bapak berteriak-teriak, memaki, dan memarahi ibu di rumah. Terimakasih bapak!” Suasana menjadi hening. Senyum sang bapak menjadi kecut dan raut wajah si Ibu mengkerut mirip onta. Adakah bahagia dan nyaman di sana?
Jadi adakah kenyamanan dan bahagia itu kawan? Dimana, kapan, dan bagaimana mereka nampak?
Ajar Sagobi
BaitApat, Yogya
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Search
Popular Posts
-
Huh...sangat membosankan. Hanya putaran-putaran peristiwa yang sama dari waktu ke waktu. Dari satu ke dua, dari dua ke tiga, dari tiga ke e...
Recent Posts
Sample Text
Aku Bercerita Tentangku
Siapa Aja
Powered by Blogger.
0 comments:
Post a Comment