All is too special to forget

Friday, October 22, 2010

On 7:51 PM by Unknown   No comments
Duduk di pojok beranda rumah, ku lihat beberapa anak asyik bermain pasaran. Mereka memerankan diri mereka sendiri ketika telah beranjak dewasa. Sesuai dengan cita-cita dan impian mereka. Berkhayal. Itu bagus, setidaknya mereka telah punya mimpi dan harapan akan masa depan mereka walau pun tak menutup kemungkinan terjadi perkelahian memperebutkan peran karena cita-cita mereka sama. Seperti yang sedang terjadi di hadapanku. Fafa; anak depan rumah, anak dari seorang pemilik warung makan ingin menjadi penjual makanan di pasar; beradu mulut dengan Rindang; anak sebelah rumah, anak pemilik Laundry, yang juga memiliki keinginan yang sama. Mereka berebut pelanggan untuk membeli dagangan mereka yang tak lain hanyalah seorang pegawai supermarket dan seorang bu haji. Usia mereka sepadan. Fafa yang berambut lurus panjang dengan mudah dijambak oleh Rindang yang berrambut keriting bak orang-orang Papua. Teriak-teriak, pekakan telinga. Tak ada yang menangis. Mereka konsekuen dengan apa yang mereka lakukan. Barangkali mereka paham, inilah efek dari berdagang: persaingan.
Fafa berkelit dan mampu melepaskan rambutnya yang sedari tadi dalam genggaman Rindang. Dia berlari menepi ke tembok, membungkuk, dan diambillah sebutir batu. Eitz…sudah-sudah…teriak aku sambil menghampirinya melepaskan batu itu dan membuangnya. (Jadi sedari tadi kau hanya melihatnya? Setan kau!!) biarlah, kenangan masa lalu.
Teringat aku, beberapa tahun yang lalu tatkala aku masih SANGAT muda. Permainan itu sama aku perankan di desaku. Persis. Aku tak tahu namanya, yang jelas kini aku menyebutnya: Bermain mimpi. Aku ingin sekali menjadi seorang tukang pos. tukang pos keliling yag mengantarkan surat dari rumah ke rumah dengan sepeda onta. Jumawa sekali rasanya. Dalam permainan itu, tak perlu aku berebut peran karena tak ada yang berminat menjadi tukang pos selain aku. Dan herannya, peran ku yang aku dapatkan tanpa ada persaingan, sama sekali tak laku. Tak ada yang berkirim surat lantaran mereka tak suka membaca dan menulis katanya. Lebih suka melihat film yang temanku perankan. Aku pun ngambek, pulang, dan mengadu.
Kekalahanku makin lengkap kala mendengar gelak tawa puas dan lepas ayah-ibuku. Kenapa mereka justru menertawakan aku? Aku jadi senyum-senyum sendiri di hadapan anak-anak itu. Mengetahui kekonyolanku saat itu yang hanya bisa mengaduh manja pada orang tuaku. Harusnya aku cari tahu dulu kenapa mereka lebih suka film dari pada surat-menyurat.
Tangis Rindang pecah. Mengalir darah segar di lutut kanannya. Aku tak tahu betul bagaimana kejadian itu karena aku telah masuk ke dalam rumah untuk menengok komputerku yang bernyanyi tiada terpeduli. Dari dalam, sebelum tangis itu bergema, aku mendengar mereka saling bercerita satu sama lain. Seolah-olah mereka sedang berada di sebuah pasar besar tempat bertemunya ratusan orang untuk berbagai keperluan. Berbicara mereka tentang banyak hal; dunia film, artis-artis, gossip, tren fashion, dan sedikit tentang pendidikan. Miris, sedikit tentang pendidikan, bahkan yang dibicarakan adalah buruknya pendidikan.
Yang lebih membuatku mrino alias nelongso begini: dalamkeramaian itu, jelas aku bis memastikan suara Fafa, “Ayo Rindang lari ke sana lagi cepet kamu bisa ambil itu kan? Cepet lari…lari…”. Sambil memberi tekanan bahwa larinya adalah sebuah harapan untuk bisa memberikan layanan yang terbaik. Kemudian terdengar “gubrak” dan tangis pun pecah. Dengan lugu dan polosnya, Fafa kembali berucap, “Tu kan, udah dibilang jangan lari-larian ko malah masih lari-lari aja. Jadi jatuh. Yuk pulang yuk,,diobatin dulu lukanya!”
Apa bedanya dengan manusia-manusia dewasa yang duduk di kursi pemerintahan?
Untunglah, cita-citanya hanya seorang tukang penjual makanan bukan seorang pejabat tinggi negara. Apa jadinya kalau dia bermimpi menjadi pejabat; perkelahian di dalam pasar, perebutan meraih simpati konsumen, obrolan tiada isi, dan perilaku yan g tak seharusnya telah mereka tabung dan mereka rencanakan untuk kemudian mereka aplikasikan dalam: perkelahian di dalam sidang, perebutan meraih simpati masyarakat, sikut sana-sikut sini, dan korupsi di kemudian hari, di hari depan mereka.
Barangkali, dulu para pejabat pun berperilaku demikian adanya? BARANGKALI.

Ajar Sagobi
BaitApat, Yogya
11.10.2010

0 comments:

Post a Comment