All is too special to forget

Tuesday, November 02, 2010

On 7:06 PM by Unknown   No comments
Orang gila di lampu penyebrangan, berorasi, mondar-mandir di zebra cross saat lampu sedang merah. Irama langkahnya tidak berubah seperti dendang lama yang aku dengar menuju pulang, dalam rintik hujan. Kepalanya terikat oleh tali merah-putih dan baju tentaranya yang kumal sobek di bagian lengan kirinya. Celananya lebih dari kumal bahkan bisa dikatakan tak layak pakai. Panjang sebelah, robek sebelah.
“Kau pikir aku ini gila? Gila? Heh? Aku ini tidak gila seperti yang kalian pikirkan. Tetapi aku ini dibuat gila oleh bangsamu, bangsa tempe. Aku muak oleh ocehan pemimpin-pemimpin bangsamu itu yang merayu-rayu rakyatnya dengan janji-janji palsu, palsu. Cuih!”
Mondar-mandir lagi si lelaki paruh baya itu. Sebenarnya tubuhnya kekar, tinggi, sangat cocok untuk menjadi angkatan bersenjata R.I. Potongan rambutnya yang cepak-rapi, dan garis-garis wajahnya yang lembut, meragukan aku bahwa dia adalah orang gila. Mungkin baru saja menjdai gila. Yah, banyak orang gila baru akhir-akhir ini, mungkin.
“Hei, kau…”, menunjuk seorang pengendara sepeda motor yang bertampang alim, jenggotnya tebal terurai ke bawah, memakai baju panjang hingga ke lutut dan celana isbal.
“Orang-orang macam kau ini, di sana banyak. Khotbah keagamaannya menjadi-jadi, kajian-kajian agama dipandang dari sudut elitisme semata tanpa peduli kami bisa makan atau tidak. Orang-orang macam kau ini, sering membual di depan kami tentang neraka dan surga dan balasan-balasan yang akan kami dapat di sana. Kalian tidak melihat, makan bagi kami susah, untuk apa bicara soal surga dan neraka. Apa kau ingin mengatakan bahwa seperti kalianlah orang-orang yang patas masuk surga dan kami tidak?”
“Setan!!!”, selorohnya tatkala lampu hijau menyapa para pengendara. Pak tua itu minggir duduk bersandar di tiang kuning traffic light menunggu merah kembali datang. Dari seberang, terlihat beberapa polisi sedang berjaga di pos polisi. Mereka hanya diam menyaksikan teater orang gila di panggung zebra cross. Entah apa yang ada di dalam benak mereka, takut, acuh, atau segan terhadap orasinya. Beda dan sangat beda dengan orasi para mahasiswa yang langsung mereka sekap dan sumpal mulut para oratornya. Mereka tembakkan peluru air dan gas air mata agar beringsut pergi dan menghentikan demonstrasi. Bahkan tak segan, peluru tajam disarangkan ke dalam tubuh para demonstran penyambung lidah rakyat. Yah, rakyat-rakyat kecil macam pak tua.
“Nah kau sekarang. Mobilmu bagus, terawat. Beli berapa kau? Beli pakai uang siapa kau?”, mobil Avansa silver berplat nomor warna merah. Aku tahu bahwa pengendara itu tak mengerti apa-apa karena dia hanya seorang sopir kantor. Apalagi pertanyaan itu betul-betul memojokkan sang sopir.
“Kenapa kau diam? Bisu? Ataukah telah dibisukan oleh uang-uang rakyat yang mampir dalam mulutmu itu? Uang kami, kau tahu!!! Kemana?”, teriaknya sambil memukul bagian depan mobil. Bejalan-kembali dia ke panggung zebra cross. Memandang luas satu per satu para pengemudi di hadapannya. Dadanya menggembung seperti sedang mengumpulkan banyak udara untuk kemudian menembakkannya ke muka-muka mereka. Tangannya perlahan ke atas, menunjuk sebuah titik di balik awan yang tak jelas yang ada di sana.
“Tuhan tahu!”, peluru udara itu telah muncrat kembali ke habitatnya.
“Tuhan baik pada kita semua. Dia tidak gandakan dosa-dosa kita tetapi pahala-pahala kita. Itu kata orang-orang macam dia!”, menunjuk seorang mahasiswa yang tampak alim.
“Dia, dia, dan dia”, ke arah yang lain.
“Tapi bukan berarti itu boleh untuk melakukan apa saja pada rakyat hingga menyiksa mereka kemudian berparas lembut di hadapan mereka sebagai tebusan dosa!!”
“Setan!!!”, hijau kembali datang menyapa.


Ajar Sagobi
BaitApat, Yogya
25102010/1018am

0 comments:

Post a Comment