All is too special to forget

Friday, November 12, 2010

On 6:28 PM by Unknown   No comments
Bus Sekolah
1997
Harus aku akui bahwasanya aku terkagum-kagum oleh bus sekolah ketika aku kecil di Yogyakarta. Betapa tidak, bus yang rombeng mirip seperti rongsong itu, kursinya sobek-sobek, bau, dan butut telah menciptakan jutaan manusia cerdas di Indonesia, kata bapakku. Beliau menyebutkan beberapa nama orang terkenal lulusan universitas ternama di kota itu. Aku lupa siapa saja mereka. Kekagumanku membuncah tatkala aku sendiri merasakan naik bus itu. Saat itu, seperti naik kereta kencana milik sinderela. Luar biasa. Bisa jadi bahan cerita kepada ibu saat sampai di rumah nanti, pikirku saat itu.
Kegesitan sopir menerobos jalan-jalan sempit yang penuh sesak kendaraan pribadi dan ketangkasan kondektur menggaet penumpang membuat ku takzim betul. Pakaian dinas mereka yang bergambar beberapa sponsor tak kalah mentereng dengan pakaian dinas bapakku. Wajah mereka yang lebih garang dan jantan kadang membuatku minder menatap matanya.
Beribu pertanyaan hinggap di kepalaku. Masih tak percaya pada cerita bapakku. Benarkah begitu, orang-orang cerdas lahir dari jerih payah para sopir dan kondektur itu? Padahal sampai dimana kecerdasan mereka? Bukan maksudku memandang sinis, tetapi bagaimana bisa mereka melakukan itu? Hebat betul. Sungguh. Sampai-sampai aku berpikir suatu hari nanti, aku ingin jadi sopir bus sekolah saja, yang mengantar orang-orang cerdas ke tempat-tempat tujuan mereka.
Tiba aku pada tepi kota Yogya dan bus itu berhenti. Lama. Aku tak mengerti, apa kehabisan bahan bakar? Atau ada yang rusak? Ku desak-desak bapakku untuk ganti bus saja karena begitu lama. Tetapi bapak menggelengkan kepala. Penumpang lain pun tenang saja. Malahan ada yang pulas tertidur. Hemm, baru aku tahu, ternyata bus itu sedang ngetem alias menunggu penumpang. Wah kalo begitu, kasihan orang-orang erdas itu dong. Harus menunggu terlalu lama demikian. Bagaimana kalo mereka sedang tergesa-gesa? Terlambat?
2007
Kembali aku ke Yogya. Kali ini untuk menetap di snaa beberapa waktu guna menyelesaikan pendidikanku. Aku manatap bus sekolah satu per satu yang lewat di depanku. Pertayaan itu masih jelas membekas di kepalaku. Aku ingin jadi orang cerdas. Haruskah aku naik bus sekolah? Tetapi bukan kekaguman yang aku dapatkan saat pertama kali aku menatap mereka satu per satu. Tetapi miris, kepedihan yang mendalam. Dan cerita bapakku dulu mulai meragukan aku. Bus-bus sekolah tak lagi ada yang berubah mengagumkan. Semua makin buruk dan makin tak terawat. Dan orang-orang cerdas tidak lahir dari kondisi yang demikian adanya. Meski tidak 100% dalam kondisi sempurna, tetapi ada pengaturan dan perawatan kondisi untuk menjadi orang cerdas. Kepribadian yang kuatlah yang akan melahirkan kecerdasan.
Kaki ku belum beranjak dari tempat aku berdiri. Masih nyaman menatap ruang-ruang kosong sudut koya Yogya, mendengar tawar-menawar riuh memadati isi telinga, dan merasakan aroma kota yang akan aku tempati beberapa waktu kedepan.
Aku pasti punya banyak cerita untuk bapak-ibuku di sana. Tentang jati diri bus sekolah dan harapan anak bangsa di kemudian hari. Bahwa kecerdasan bukan lahir dari ketidakteraturan tapi dari sebuah sistem yang bernama keyakinan.
Aku melangkah.

Ajar Sagobi
BaitApat, Yogya
25102010/1057

0 comments:

Post a Comment