All is too special to forget

Thursday, November 25, 2010

On 11:26 AM by Unknown   No comments
Pitak bangun seperti biasanya, sebelum adzan subuh berkumandang. Dibuka pintu belakang rumahnya, menuju ke kamar mandi. Diambilnya pula air wudhu hendak sholat malam.
Sholat . . .
Adzan subuh berkumandang namun telinganya kali ini sumbat tersumpal kenangan masa SMA yang nampak jelas di depan mata. Baju masa SMA-nya masih tersimpan rapi seolah sengaja dimuseumkan karena penuh dengan tanda tangan kawan-kawan seperjuangannya dulu. Berwarna-warni. “Ternyata dulu aku pernah pula SMA”, gumamnya. Lebih dari 25 tahun yang lalu kenangan itu terjadi.
Dulu, tak sendiri dia berjalan ke masjid untuk sholat, dia berama kawan-kawan SMAnya yang memang banyak dari tetangganya, berada satu SMA dengannya. Berbicara ngalor-ngidul tanpa ujung membahas guru favorit masing-masing. Pitak mengenang itu. Namun kini semua telah pergi entah kemana. Hanya John yang masih senasib sepenanggungan dengannya di sini, tetanggnya yang juga teman satu meja di SMA.
“Jam berapa sekarang John?”
“Jam 7 kurang 5 menit”
“Macam mana pula bercandamu ini makin lama. Mana mungkin lah. Jam kau kali yang rusak”
“Bentar. . . Aku punya tiga jam dan semua menunjukkan jam yang sama. Masa rusak semua bersamaan? Macam mana pula kau ini. Sembarangan saja”
“Lalu kenapa jalan masih sepi anak-anak sekolah. Aku rindu melihat mereka.”
“Kamu lupa? Sekarang Hari Guru Nasional”
“Lalu apa hubungannya dengan jadwal sekolah?”
“Sekolah libur untuk memperingati Hari Guru Nasional”.
“Beeeeeehh..manja sekali anak-anak zaman sekarang ini. Semua jadi dalih untuk meliburkan diri. Demo saja kita demo. Menuntut agar hak pendidikan anak bangsa tidak diabaikan hanya karena Hari Guru itu. Macam mana pula ini semua”
“Kenapa dulu kau begitu senangnya ketika jam pelajaran kosong? Melompat-lompat kesana-kemari lalu pergi entah kemana tak jelas”
“Ah sudahlah kawan. Dulu primsip ku kuat saat SMA. Prinsip PGRI”
“Eitz,,ngapain kamu bawa-bawa nama PGRI untuk jadi prinsip orang gak jelas macam kau ini?”
“Ceritanya begini: ketika aku kelas 1 SMA, aku terpesona dengan guru Bahasa Indonesia kita. Cara bicaranya membuat orang yang mendengar jadi kagum padanya. Bahasanya manis dan santun. Keakrabannya seolah bisa meruntuhkan tembok kesenjangan hubungan guru-guru dan guru-murid. Suatu ketika di kelas dua, aku dekat dengannya dan sering aku diajaknya makan bersama, ditraktir. Senang tidak kau boy, digituin? Dia bilang minta bantuanku”
“Bantuan apa yang bisa kau beri? Aneh”
“Sebentar boy. Awalnya aku gak paham tetapi lama-lama aku paham betul. Dia ingin aku membantunya untuk bisa masuk dalam jajaran struktur organisasi sekolah dan yayasan. Karena waktu itu akan ada pemilihan kepala sekolah. Kau ingat bukan? Yang akhirnya si hitam botak lengser diganti si putih bermuka jelo itu?”
“Ho-oh”
“Itu rencana kami boy. Dan berhasil. Kita selalu koordinasi dan jam pelajaran sengaja dikosongkan dan aku boleh tak mengerjakan tugas darinya. Dia memilih aku karena aku dipercaya bisa mengajak teman-temanku. Dan aku bisa, bukan? Dengan prinsip PGRI ku itu”
“Apa itu?”
“PGRI? Pokoke Gur nguRI-uri (yang penting ikut sajalah –sami’na wa ato’na-) untuk cari pendukung”
“Hush..ngawur kamu. Itu tu Persatuan Guru Republik Indonesia. Nama yang sudah mempersatukan guru seluruh Indonesia selama 65 tahun. Sembarang saja kau ini”
“Demi sebuah tujuan, kawan! Cita-cita bersama harus diperjuangkan. Memangnya cuma politikus saja yang berideologi begitu? Tidak dong, aku dan guru walaupun tidak berkecimpung di parpol, tapi juga bisa berpolitik. Jangan salah”
“Politik tokek belang itu namanya. Gak kayak gitu politik itu. Berpolitik itu tidak pakai “pokoke. . .pokoke” macam kau. Harus ada ruang-ruang dialog, penjaringan massa secara sehat dan terbuka, dan jangan cuma mengumpat dibelakang untuk menjelek-jelekkan lawan. Pantas saja ada calon lain tercitrakan buruk di depan siswa”
“Ah, aku tak mengerti itu, John”
“Kalau guru saja tak bisa mendidik dirinya sendiri bagaimana bisa dia mendidik orang lain. Pantas saja banyak koruptor, dan mavia lainnya dalam pemerintahan. Ya gara-gara muka-muka macam kau dan guru bahasa Indonesiamu itu”
“Jadi aku salah, John?”
“Pikirlah. Kau punya dosa jariyah saja”
“Amal jariyah John”
“Dosa, lha akhirnya sekolah itu bubar to? Karena kepala sekolah itu gak becus. Siapa tim suksesnya?”
“Emang ada dosa jariyah?”
“Yah..apa pun namanya”
. . . .
“Pitak, tak kasih tahu kau. Pak Muhammad Asmin, Ketua PGRI Sulsel bilang gini, ‘Kita akan membahas secara bersama mengenai pendidikan karakter melalui pendekatan budaya agar adat istiadat yang menjadi salah satu rambu kehidupan sosial kembali dipegang’ begitu”
“Trus maksudnya?”
“Maksudnya, anakmu itu yang seakrang lagi sekolah di sekolah keguruan didik biar tidak dugem mulu kerjaannya. Ajari dia biar melek budaya biar jadi guru yang bener bisa mendidik diri sendiri dan siswa-siswanya. GURU itu diGUgu mulkana aja saRU. Siswa-siswa itu meneladani apa yang dilakukan guru makanya berperilakulah yang baik biar dapat amal jariyah bukan dosa jariyah”
“Emang ada dosa jariyah?”
“Ya…apa pun namanya”


Ajar Sagobi
Untuk refleksi Hari Guru Nasional
(sumber: www.harian-global.com/23 Nov2010)

Monday, November 22, 2010

On 5:45 AM by Unknown   1 comment
Indonesia

Indonesia…
Negeri seribu duka
Aku sebut namamu

Darah merah pejuang bangsa
tumpah-merahkan tanah pertiwi
Darah hitam anak bangsa
legamkan peradaban kini

Karpet hijau dunia
Kau kebiri, berbangga
Tak mengerti, mereka membara
Merana-sedihkan kita, berbangsa

Hitam legam pundak para biduan
menari, memikul-berat beban
polah anak bangsa
merayu, mengemis asa
pada negara seberang dunia

Indonesia
Aku tetap sebut namamu

Ajar Sagobi
14112010/2115
On 5:42 AM by Unknown   No comments
Anak-anak raja dari Kerajaan Baitul sering merasa kesepian. Bukan karena tiada teman untuk bermain tetapi lebih dikarenakan kebosanan yang menyelimuti masa kanak-kanak mereka. Bisa dimaklumi, tembok-tembok tinggi nan megah yang mengitari wilayah birokrat kerajaan memaksa mereka berdiam diri di dalamnya. Pun, peraturan raja yang ketat bahwasanya seluruh anaknya, dari permaisuri ataupun selir, harus tetap berada di dalam isatan. Seluruh fasilitas dipenuhi. Enak deh pokoknya. Tetapi, tetap saja kebosanan begitu dominan.
Hingga tiba suatu hari, setelah lelah bermain kejar-kejaran, mereka istirahat dan meneguk banyak air di dalam kendi-kendi yang disedakan pelayan kerajaan. Seraya istirahat, mereka saling hina dan cemooh satu sama lain sebagai bentuk keakraban. Juga saling sindir sesama lelaki, kira-kira berjumlah 7 orang, dan 3 perempuan. Begitulah sampai mentari berada pada titik puncak perjalannannya.
“Hoi, mau kemana kau? Kok pergi?”
“Aku kebelet pipis”
“Halah alas an saja kau ini, kau memang begitu kalau kalah bermain. Selalu saja pergi”
“Aku memang kebelet pipis. Gak percaya banget sih! Niiiiii. . . ”, sontak dia keluarkan air kencingnya ke tubuhnya. Hendak dia marah berat pada saudaranya itu. Tetapi . . .
“Hei saudara-saudaraku, lihatlah ke sini!!!”, teriak saudara yang lain dari ujung sana.
“Ada apa?”
“Lihatlah aku bisa membuat lukisan indah dengan air kencingku ini. Lihatlah, ini adalah ayah, ini ibu, dan ini paman.” Sambil menunjuk.
“Wah, aku akan coba”, “Lihatlah ini kita semua!!!”, sambil menggambarnya di dinding.
“Woi,,woi,,woi aku juga bisa bisa lihatlah!” dari ujung tempat yang lain.
“Apa saudaraku?”
“Aku bisa membuat apa pun bentuk yang aku mau dengan ini. Tadi aku kencingi pasir ini dan kemudian aku bentuk pasirnya menjadi bentuk ini: istana. Lihatlah, hebat bukan!”
“Kau hebat saudaraku, kau hebat sekali.”
Larut mereka pada permainan yang baru saja mereka nikmati. Semua berpartisipasi dengan kencing-kencing mereka yang tumpah di atas pasir, mereka bangun sebuah istana megah. Istana yang mereka dambakan untuk masa depan. Berikut para prajurit impian mereka dan permaisuri mereka. Gelak tawa dan celoteh lugu penuh menyelimuti hati mereka dalam permainan.
“Ternyata kita hebat ya!! Ayah mewariskan bakat seni kepada kita semua. Tidak tanggung-tanggung, kita semua bisa.”
“Kau benar saudaraku. Dengan kencing ini, kita bisa berseni. Luar biasa.”
Begitulah hingga hari-hari berikutnya, mereka tak lagi risih setiap kali hendak kencing yang dianggap, sebelumnya, hanya kotoran tubuh saja. Tidak,, kini mereka bisa berseni.
“Kalian sedang apa anak-anakku akhir-akhir ini? Ayah perhatikan, kalian begitu bahagia.”
“Kami sedang berseni, wahai ayah!”, dia memperhatikan segala gerak-gerik mereka.
“Kalian menggunakan air kencing kalian itu untuk berekspresi? Hebat kalian, anak-anakku. Kalian menggunakan barang-barang tiada guna menjadi karya-karya hebat. Luar biasa. Air.. air… Air seni”
“Apa itu air seni Ayah?”
“Air seni adalah air kebebasan, kemerdekaan, kemegahan. Dengannya, hilang segala gundah gulana, sedih, dan nestapa. Dan dengannya pula, kalian luapkan mimpi-mimpi kalian. Aku yakin suatu hari nanti, kerajaan ini akan megah dengan air itu: A.I.R. S.E.N.I.”

Ajar Sagobi
BaitApat, Yogya
21112010/0615am

Friday, November 12, 2010

On 6:28 PM by Unknown   No comments
Bus Sekolah
1997
Harus aku akui bahwasanya aku terkagum-kagum oleh bus sekolah ketika aku kecil di Yogyakarta. Betapa tidak, bus yang rombeng mirip seperti rongsong itu, kursinya sobek-sobek, bau, dan butut telah menciptakan jutaan manusia cerdas di Indonesia, kata bapakku. Beliau menyebutkan beberapa nama orang terkenal lulusan universitas ternama di kota itu. Aku lupa siapa saja mereka. Kekagumanku membuncah tatkala aku sendiri merasakan naik bus itu. Saat itu, seperti naik kereta kencana milik sinderela. Luar biasa. Bisa jadi bahan cerita kepada ibu saat sampai di rumah nanti, pikirku saat itu.
Kegesitan sopir menerobos jalan-jalan sempit yang penuh sesak kendaraan pribadi dan ketangkasan kondektur menggaet penumpang membuat ku takzim betul. Pakaian dinas mereka yang bergambar beberapa sponsor tak kalah mentereng dengan pakaian dinas bapakku. Wajah mereka yang lebih garang dan jantan kadang membuatku minder menatap matanya.
Beribu pertanyaan hinggap di kepalaku. Masih tak percaya pada cerita bapakku. Benarkah begitu, orang-orang cerdas lahir dari jerih payah para sopir dan kondektur itu? Padahal sampai dimana kecerdasan mereka? Bukan maksudku memandang sinis, tetapi bagaimana bisa mereka melakukan itu? Hebat betul. Sungguh. Sampai-sampai aku berpikir suatu hari nanti, aku ingin jadi sopir bus sekolah saja, yang mengantar orang-orang cerdas ke tempat-tempat tujuan mereka.
Tiba aku pada tepi kota Yogya dan bus itu berhenti. Lama. Aku tak mengerti, apa kehabisan bahan bakar? Atau ada yang rusak? Ku desak-desak bapakku untuk ganti bus saja karena begitu lama. Tetapi bapak menggelengkan kepala. Penumpang lain pun tenang saja. Malahan ada yang pulas tertidur. Hemm, baru aku tahu, ternyata bus itu sedang ngetem alias menunggu penumpang. Wah kalo begitu, kasihan orang-orang erdas itu dong. Harus menunggu terlalu lama demikian. Bagaimana kalo mereka sedang tergesa-gesa? Terlambat?
2007
Kembali aku ke Yogya. Kali ini untuk menetap di snaa beberapa waktu guna menyelesaikan pendidikanku. Aku manatap bus sekolah satu per satu yang lewat di depanku. Pertayaan itu masih jelas membekas di kepalaku. Aku ingin jadi orang cerdas. Haruskah aku naik bus sekolah? Tetapi bukan kekaguman yang aku dapatkan saat pertama kali aku menatap mereka satu per satu. Tetapi miris, kepedihan yang mendalam. Dan cerita bapakku dulu mulai meragukan aku. Bus-bus sekolah tak lagi ada yang berubah mengagumkan. Semua makin buruk dan makin tak terawat. Dan orang-orang cerdas tidak lahir dari kondisi yang demikian adanya. Meski tidak 100% dalam kondisi sempurna, tetapi ada pengaturan dan perawatan kondisi untuk menjadi orang cerdas. Kepribadian yang kuatlah yang akan melahirkan kecerdasan.
Kaki ku belum beranjak dari tempat aku berdiri. Masih nyaman menatap ruang-ruang kosong sudut koya Yogya, mendengar tawar-menawar riuh memadati isi telinga, dan merasakan aroma kota yang akan aku tempati beberapa waktu kedepan.
Aku pasti punya banyak cerita untuk bapak-ibuku di sana. Tentang jati diri bus sekolah dan harapan anak bangsa di kemudian hari. Bahwa kecerdasan bukan lahir dari ketidakteraturan tapi dari sebuah sistem yang bernama keyakinan.
Aku melangkah.

Ajar Sagobi
BaitApat, Yogya
25102010/1057

Tuesday, November 02, 2010

On 7:06 PM by Unknown   No comments
Orang gila di lampu penyebrangan, berorasi, mondar-mandir di zebra cross saat lampu sedang merah. Irama langkahnya tidak berubah seperti dendang lama yang aku dengar menuju pulang, dalam rintik hujan. Kepalanya terikat oleh tali merah-putih dan baju tentaranya yang kumal sobek di bagian lengan kirinya. Celananya lebih dari kumal bahkan bisa dikatakan tak layak pakai. Panjang sebelah, robek sebelah.
“Kau pikir aku ini gila? Gila? Heh? Aku ini tidak gila seperti yang kalian pikirkan. Tetapi aku ini dibuat gila oleh bangsamu, bangsa tempe. Aku muak oleh ocehan pemimpin-pemimpin bangsamu itu yang merayu-rayu rakyatnya dengan janji-janji palsu, palsu. Cuih!”
Mondar-mandir lagi si lelaki paruh baya itu. Sebenarnya tubuhnya kekar, tinggi, sangat cocok untuk menjadi angkatan bersenjata R.I. Potongan rambutnya yang cepak-rapi, dan garis-garis wajahnya yang lembut, meragukan aku bahwa dia adalah orang gila. Mungkin baru saja menjdai gila. Yah, banyak orang gila baru akhir-akhir ini, mungkin.
“Hei, kau…”, menunjuk seorang pengendara sepeda motor yang bertampang alim, jenggotnya tebal terurai ke bawah, memakai baju panjang hingga ke lutut dan celana isbal.
“Orang-orang macam kau ini, di sana banyak. Khotbah keagamaannya menjadi-jadi, kajian-kajian agama dipandang dari sudut elitisme semata tanpa peduli kami bisa makan atau tidak. Orang-orang macam kau ini, sering membual di depan kami tentang neraka dan surga dan balasan-balasan yang akan kami dapat di sana. Kalian tidak melihat, makan bagi kami susah, untuk apa bicara soal surga dan neraka. Apa kau ingin mengatakan bahwa seperti kalianlah orang-orang yang patas masuk surga dan kami tidak?”
“Setan!!!”, selorohnya tatkala lampu hijau menyapa para pengendara. Pak tua itu minggir duduk bersandar di tiang kuning traffic light menunggu merah kembali datang. Dari seberang, terlihat beberapa polisi sedang berjaga di pos polisi. Mereka hanya diam menyaksikan teater orang gila di panggung zebra cross. Entah apa yang ada di dalam benak mereka, takut, acuh, atau segan terhadap orasinya. Beda dan sangat beda dengan orasi para mahasiswa yang langsung mereka sekap dan sumpal mulut para oratornya. Mereka tembakkan peluru air dan gas air mata agar beringsut pergi dan menghentikan demonstrasi. Bahkan tak segan, peluru tajam disarangkan ke dalam tubuh para demonstran penyambung lidah rakyat. Yah, rakyat-rakyat kecil macam pak tua.
“Nah kau sekarang. Mobilmu bagus, terawat. Beli berapa kau? Beli pakai uang siapa kau?”, mobil Avansa silver berplat nomor warna merah. Aku tahu bahwa pengendara itu tak mengerti apa-apa karena dia hanya seorang sopir kantor. Apalagi pertanyaan itu betul-betul memojokkan sang sopir.
“Kenapa kau diam? Bisu? Ataukah telah dibisukan oleh uang-uang rakyat yang mampir dalam mulutmu itu? Uang kami, kau tahu!!! Kemana?”, teriaknya sambil memukul bagian depan mobil. Bejalan-kembali dia ke panggung zebra cross. Memandang luas satu per satu para pengemudi di hadapannya. Dadanya menggembung seperti sedang mengumpulkan banyak udara untuk kemudian menembakkannya ke muka-muka mereka. Tangannya perlahan ke atas, menunjuk sebuah titik di balik awan yang tak jelas yang ada di sana.
“Tuhan tahu!”, peluru udara itu telah muncrat kembali ke habitatnya.
“Tuhan baik pada kita semua. Dia tidak gandakan dosa-dosa kita tetapi pahala-pahala kita. Itu kata orang-orang macam dia!”, menunjuk seorang mahasiswa yang tampak alim.
“Dia, dia, dan dia”, ke arah yang lain.
“Tapi bukan berarti itu boleh untuk melakukan apa saja pada rakyat hingga menyiksa mereka kemudian berparas lembut di hadapan mereka sebagai tebusan dosa!!”
“Setan!!!”, hijau kembali datang menyapa.


Ajar Sagobi
BaitApat, Yogya
25102010/1018am