All is too special to forget

Friday, July 13, 2012

On 10:43 AM by Unknown   No comments

Di tepian sungai sembari menanti ikan yang rela memakan cacing pancingan. Hanya sekedar membantu Pithak dan John hidup lebih lama dan hidup lebih bahagia dengan perut kenyang. John dan Pithak berbincang tentang UII.

John, Ajar kemana ya? Kok sekarang jarang banget ngumpul-ngumpul lagi kayak dulu ya
     Dia dah kerja di UII.
UII tu apa John?
     Universitas Islam Indonesia. Kalau kebanyakan orang bilangnya sih Universitas Insya Allah Islam.
Kenapa gitu John?
     Ya karena pengen gitu aja. Kayak aku ni, pengennya UII tu Universitas Iman Indonesia.
Kalau aku Universitas Istimewa Indonesia. Sip kan?
     Kok gitu?
Ya karena pengennya gitu ja
     Semplak loe.
Hahahaha
     Sekarang itu, Islam dah terbagi-bagi persepsinya. Ada Islam kanan, Islam kiri, ada Islam abangan, ada  
     Islam kejawen, macem-macem. Lalu UII tu Islam yang mana?
Ya Islamnya UII lah John. Gitu aja kok repot.
     Lha yang gimana?
Emangnya gimana?
     Nabi tu pernah berwasiat, kelak di akhir zaman umatku akan terpecah-pecah menjadi beberapa 
     golongan. Tapi Cuma satu yang selamat.
Owww…jadi yang selamat itu yang beriman gitu John?
    Iya..beriman..makanya UII tu Universitas Iman Indonesia. Jadi gak terppecah belah lagi. Dan selamat 
    dong
oww,,,,gitu,,weh weh ikan John..aku mau bikin Universitas Ikan Indonesia aja... (sambil Menarik Kailnya) bikin kenyang...dan tentu  menyejahterakan rakyat..kaya kita-kita ini.

Wednesday, July 11, 2012

On 2:49 PM by Unknown   No comments
  Menulis; Menjaring Imaji


aku ingin menulis lagi
seperti saat aku hanya mengenal sepi
seperti saat aku hanya berteman pensil dan kertas


entah kemana angan dan hasrat itu kini
semua menghilang, mungkin
tertawan jaring laba-laba
yang lemah tapi angkuh di sudut sana

dia, dari tempatnya di sana
mengejek ku
gantungkan saja maumu itu pada taliku
kau tak kan menuai apa pun
 aku ingin menulis lagi
seperti saat aku, hanya aku dan kamu

Thursday, November 25, 2010

On 11:26 AM by Unknown   No comments
Pitak bangun seperti biasanya, sebelum adzan subuh berkumandang. Dibuka pintu belakang rumahnya, menuju ke kamar mandi. Diambilnya pula air wudhu hendak sholat malam.
Sholat . . .
Adzan subuh berkumandang namun telinganya kali ini sumbat tersumpal kenangan masa SMA yang nampak jelas di depan mata. Baju masa SMA-nya masih tersimpan rapi seolah sengaja dimuseumkan karena penuh dengan tanda tangan kawan-kawan seperjuangannya dulu. Berwarna-warni. “Ternyata dulu aku pernah pula SMA”, gumamnya. Lebih dari 25 tahun yang lalu kenangan itu terjadi.
Dulu, tak sendiri dia berjalan ke masjid untuk sholat, dia berama kawan-kawan SMAnya yang memang banyak dari tetangganya, berada satu SMA dengannya. Berbicara ngalor-ngidul tanpa ujung membahas guru favorit masing-masing. Pitak mengenang itu. Namun kini semua telah pergi entah kemana. Hanya John yang masih senasib sepenanggungan dengannya di sini, tetanggnya yang juga teman satu meja di SMA.
“Jam berapa sekarang John?”
“Jam 7 kurang 5 menit”
“Macam mana pula bercandamu ini makin lama. Mana mungkin lah. Jam kau kali yang rusak”
“Bentar. . . Aku punya tiga jam dan semua menunjukkan jam yang sama. Masa rusak semua bersamaan? Macam mana pula kau ini. Sembarangan saja”
“Lalu kenapa jalan masih sepi anak-anak sekolah. Aku rindu melihat mereka.”
“Kamu lupa? Sekarang Hari Guru Nasional”
“Lalu apa hubungannya dengan jadwal sekolah?”
“Sekolah libur untuk memperingati Hari Guru Nasional”.
“Beeeeeehh..manja sekali anak-anak zaman sekarang ini. Semua jadi dalih untuk meliburkan diri. Demo saja kita demo. Menuntut agar hak pendidikan anak bangsa tidak diabaikan hanya karena Hari Guru itu. Macam mana pula ini semua”
“Kenapa dulu kau begitu senangnya ketika jam pelajaran kosong? Melompat-lompat kesana-kemari lalu pergi entah kemana tak jelas”
“Ah sudahlah kawan. Dulu primsip ku kuat saat SMA. Prinsip PGRI”
“Eitz,,ngapain kamu bawa-bawa nama PGRI untuk jadi prinsip orang gak jelas macam kau ini?”
“Ceritanya begini: ketika aku kelas 1 SMA, aku terpesona dengan guru Bahasa Indonesia kita. Cara bicaranya membuat orang yang mendengar jadi kagum padanya. Bahasanya manis dan santun. Keakrabannya seolah bisa meruntuhkan tembok kesenjangan hubungan guru-guru dan guru-murid. Suatu ketika di kelas dua, aku dekat dengannya dan sering aku diajaknya makan bersama, ditraktir. Senang tidak kau boy, digituin? Dia bilang minta bantuanku”
“Bantuan apa yang bisa kau beri? Aneh”
“Sebentar boy. Awalnya aku gak paham tetapi lama-lama aku paham betul. Dia ingin aku membantunya untuk bisa masuk dalam jajaran struktur organisasi sekolah dan yayasan. Karena waktu itu akan ada pemilihan kepala sekolah. Kau ingat bukan? Yang akhirnya si hitam botak lengser diganti si putih bermuka jelo itu?”
“Ho-oh”
“Itu rencana kami boy. Dan berhasil. Kita selalu koordinasi dan jam pelajaran sengaja dikosongkan dan aku boleh tak mengerjakan tugas darinya. Dia memilih aku karena aku dipercaya bisa mengajak teman-temanku. Dan aku bisa, bukan? Dengan prinsip PGRI ku itu”
“Apa itu?”
“PGRI? Pokoke Gur nguRI-uri (yang penting ikut sajalah –sami’na wa ato’na-) untuk cari pendukung”
“Hush..ngawur kamu. Itu tu Persatuan Guru Republik Indonesia. Nama yang sudah mempersatukan guru seluruh Indonesia selama 65 tahun. Sembarang saja kau ini”
“Demi sebuah tujuan, kawan! Cita-cita bersama harus diperjuangkan. Memangnya cuma politikus saja yang berideologi begitu? Tidak dong, aku dan guru walaupun tidak berkecimpung di parpol, tapi juga bisa berpolitik. Jangan salah”
“Politik tokek belang itu namanya. Gak kayak gitu politik itu. Berpolitik itu tidak pakai “pokoke. . .pokoke” macam kau. Harus ada ruang-ruang dialog, penjaringan massa secara sehat dan terbuka, dan jangan cuma mengumpat dibelakang untuk menjelek-jelekkan lawan. Pantas saja ada calon lain tercitrakan buruk di depan siswa”
“Ah, aku tak mengerti itu, John”
“Kalau guru saja tak bisa mendidik dirinya sendiri bagaimana bisa dia mendidik orang lain. Pantas saja banyak koruptor, dan mavia lainnya dalam pemerintahan. Ya gara-gara muka-muka macam kau dan guru bahasa Indonesiamu itu”
“Jadi aku salah, John?”
“Pikirlah. Kau punya dosa jariyah saja”
“Amal jariyah John”
“Dosa, lha akhirnya sekolah itu bubar to? Karena kepala sekolah itu gak becus. Siapa tim suksesnya?”
“Emang ada dosa jariyah?”
“Yah..apa pun namanya”
. . . .
“Pitak, tak kasih tahu kau. Pak Muhammad Asmin, Ketua PGRI Sulsel bilang gini, ‘Kita akan membahas secara bersama mengenai pendidikan karakter melalui pendekatan budaya agar adat istiadat yang menjadi salah satu rambu kehidupan sosial kembali dipegang’ begitu”
“Trus maksudnya?”
“Maksudnya, anakmu itu yang seakrang lagi sekolah di sekolah keguruan didik biar tidak dugem mulu kerjaannya. Ajari dia biar melek budaya biar jadi guru yang bener bisa mendidik diri sendiri dan siswa-siswanya. GURU itu diGUgu mulkana aja saRU. Siswa-siswa itu meneladani apa yang dilakukan guru makanya berperilakulah yang baik biar dapat amal jariyah bukan dosa jariyah”
“Emang ada dosa jariyah?”
“Ya…apa pun namanya”


Ajar Sagobi
Untuk refleksi Hari Guru Nasional
(sumber: www.harian-global.com/23 Nov2010)